“Kebenaran kita
berkemungkinan salah. Kealahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran
Tuhan yang benar-benar” salah satu kalimat yang banyak kita jumpai dalam
perkembangan baru-baru ini. Seperti ini banyak yang menjadi pegangan orang-orang paham
Gnostik, yaitu orang-orang yang mengutamakan ilmu pengetahuan dari segala hal.
Kalimat itu tidak bisa diberlakukan secara umum, dan karenanya ia memiliki
batasan-batasan dalam penerapannya
sendiri. Pembatasan itu adalah suatu niscaya, sebab jika tidak tentu itu bisa
merelatifkan segala sesuatu. Termasuk hal-hal yang sudah tetap dalam agama (Tsawabif). Karenanya kata-kata itu tidak
boleh berlaku dalam aspek-aspek dari ajaran keagamaan yang didasarkan pada
dalil Qath’I (definitif
yang bersifat pasti)
Paham Gnostik bisa disimpulkan sebagai orang-orang yang mendahulukan
ilmu pengetahuan daripada apa yang diajarkan oleh kitab-kitab dan sumber hukum
agama
yaitu memiliki rahasia-rahasia yang akhirnya dapat menjamin kesatuan jiwa
dengan Tuhan. Jadi, tujuan ilmu
pengetahuan
adalah keselamatan, meliputi penyucian dan kekekalan, dan dibuat dalam kerangka
yang bertalian dengan konsepsi filsafat, mitologi, atau astrologi yang
kontemporer; Unsur-unsur yang berbeda itu berlaku dalam sistem-sistem yang
berbeda. Dalam hal ini pemisahal Allah mutlak dari zat (menurut dogma Yunani,
zat mempunyai pembawaan anasir jahat) diterima, dan drama penyelamatan
diperankan oleh banyak makhluk perantara. Jiwa
dari manusia yang dapat diselamatkan adalah suatu percikan dari keilahian yang
terkurung dalam tubuh; penyelamatan berarti kelepasan jiwa dari kecemaran
badaniah, dan penyerapannya ke dalam Sumbernya.
Karena dalam aspek-aspek yang fundamental seperti rukun-rukun
iman dan islam, tak ada
pilihan lain sebagai seorang muslim selain meyakini sebagai kebenaran. Misal
seperti sholat yang wajib dan kewajiban lain dalam agama. Maka tak peduli siapa
saja yang mengatakannya maka harus diterima sebagai suatu kebenaran. Jika
ajaran agama itu termasuk hal aksioma dan berakibat fasik jika bukan termasuk
ajaran agama yang aksiomatis. Karena itu hal ini penting untuk diperhatikan
oleh setiap muslim agar mereka tak terjebak di dalam memaknai relativisme
kebenaran
Terdapat Hukum
Ta’abbudi dan Ta’aqquli dalam islam. Hukum Ta’abbuli adalah hukum yang tidak
bisa diketahui bagaimana proses perumusannya serta illat (motif) apa yang
mendasari hingga hukum itu terbentuk. Halal, haram maupun lainnya. Dengan kata
lain yang sudah tidak bisa diubah lagi dengan keputusan ijtihad ulama dan
metode fatwa yang lainnya. Contohnya adalah hukum Iddah seorang wanita yang
dicerai suaminya yaitu 3 kali haid atau bisa 3 bulan. Sedangkan Hukum Ta’aqquli
adalah hukum Al-Quran
dan Hadits yang bias diketahui prosesnya. Hukum ini menjadi pijakan dalam
proses analogi (Qiyas), maka setelah illatnya diketemukan bisa
dikontekstualisasikan kepada kasus-kasus baru yang berkembang. Contohnya adalah
Khamr diharamkan dengan suatu alasan memabukkan. Nah disini jika alasan
memabukkan tadi dihilangkan maka barang tadi bisa berubah hukumnya, dan perlu
digaris bawahi adalah bukan karena perubahan zaman. Khamr atau kita analogikan Al-kohol, jika
bisa menjadi suatu manfaat maka dibolehkan, seperti yang paling banyak
digunakan galam Hal Medis
Penerepan untuk
kalimat di awal adalah pada wilayah cabang ilmu agama Furu’ul fiqhiyyah, yang menjadi wilayah
ijtihad ulama karena ranah hukum ini termasuk tipe dalil Zhanni, sehingga jika terdapat perbedaan
pendapat maka itu masih wajar, namun dalam hal perbedaan tersebut tidak serta
merta mengkafirkan kafirkan yang beda pendapat dengan kita, seperti kebanyakan apa
yang terjadi belakangan di Indoensia. Nah pada aspek inilah kita biasa
mendengar ujaran para ahli fiqih “Ra’yuna
shawabun wa yahtamilul khata’, wa ra’yu ghairina khata’un yahtamilush shawab”
(pendapat kami benar tapi berkemungkinan salah, sedang pendapat selain kami
salah tapi berkemungkinan benar)
REFERENSI:
SIDOGIRI MEDIA EDISI 145
SIDOGIRI MEDIA EDISI 147
No comments:
Post a Comment